Selasa, 26 Mei 2009

Kecelakaan Hercules di Magetan


Kecelakaan Hercules di Magetan

Innalillahi wa inna ilaihi ra’jiun. Inna lillah wa inna ilaihi ra’jiun. Inna lillah wa inna ilaihi ra’jiun.

Indonesia kembali berduka. Kemarin terjadi kecelakaan pesawat terbang di Magetan Jawa Timur. Sekitar 100 orang meninggal. Inna lillahi, ini adalah tragedi besar di pertengahan 2009 ini. Belum lama lalu, sebelum Pemilu terjadi kecelakaan tragis pesawat Fokker di Lanud Husein Sastranegara, tepatnya di atas sebuah hanggar IPTN. Sekitar 20 orang jatuh korban, yaitu para prajurit muda TNI AU dan awak pesawatnya.

Jatuhnya pesawat Hercules C-130 di Magetan tanggal 20 Mei 2009 kemarin benar-benar menjadi pukulan berat bagi bangsa Indonesia. Bukan hanya kita merasa berat melihat ratap-tangis para keluarga korban, atau karena jumlah korbannya yang banyak. Tetapi juga ada perasaan ngenes luar biasa menyaksikan nasib prajurit TNI saat ini. Mereka sangat jauh dari kondisi seperti di masa Orde Baru dulu. Apalagi dibandingkan masa ketika Panglima TNI dipegang Jendral M. Yusuf. Jauh, jauh sekali.

Di jaman Orde Reformasi ini, gerakan demiliterisasi sangat kuat berhembus. Oke-lah, peranan militer dalam politik boleh dikurangi sampai batas minimal. Namun peranan mereka di sektor pertahanan jelas tidak bisa dipandang sebelah mata. Kalau TNI sebagai institusi yang resmi menjaga keamanan negara dilucuti, berarti negara ini menjadi tidak berpenjaga.

Kecelakaan pesaawat Hercules di Magetan membuka mata semua pihak, betapa sangat naifnya cara Pemerintah mengelola sistem keamanan nasional. Dalam dialog di TVOne, Ali Mochtar Ngabalin berkali-kali menyayangkan sikap Mabes TNI yang tidak pro aktif dengan anggaran militer. Padahal banyak pihak meminta supaya TNI menyediakan anggaran yang cukup. Saat ini anggaran militer sekitar 36 triliun, dibagi rata untuk tiga angkatan, AD, AL, dan AU. Sementara untuk kepolisian saja, anggaran bisa mencapai 28 triliun rupiah.
Para pengamat menyayangkan ketika elit-elit TNI tidak sungguh-sungguh memperjuangkan perbaikan anggaran militer, padahal hal itu sangat dibutuhkan oleh para prajurit, keluarga mereka, bahkan untuk biaya alutsista (alat utama sistem pertahanan) dan perawatannya.

Hal ini kemudian memunculkan dugaan, adanya kesengajaan untuk melemahkan kekuatan militer. Para pengamat banyak mengatakan hal ini. Jika militer sudah lemah, maka jalan untuk memecah-belah kesatuan nasional terbuka lebar.

Apalagi sangat ironis. Tahun lalu, Pemerintah Qatar berniat menghibahkan satu skuadron (12 pesawat) Mirrage ke Indonesia. Ini hibah, tidak perlu membeli. Tetapi pihak Mabes TNI tidak mau menerima hibah pesawat itu. Alasan mereka, kita tidak memiliki biaya perawatan pesawat Mirrage, dan proses hibah itu sendiri tetap saja membutuhkan biaya (tidak gratis murni). Aneh sekali, tinggal diberi tetapi malah ditolak. Itu pun dibumbui alasan yang dicari-cari. Kalau serius demi pertahanan nasional, insya Allah hibah itu akan disambut dengan senang hati.

Mengherankan juga, di bawah Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono yang mantan Gubernur Lemhanas itu, mengapa manajemen militer malah amburadul? Bukankah Juwono adalah seorang intelektual akademis yang memiliki kredibilitas tinggi? Entahlah, mengapa demikian.

Saya sendiri pernah dalam satu perjalanan kereta api dengan seorang anggota keluarga TNI AU dari Lanud Sulaiman Bandung. Dalam pembicaraan itu terungkap banyak fakta-fakta menarik, kurang-lebih sebagai berikut:

[o] Pesawat Hercules sangat sering dipakai untuk alat transportasi militer dan keluarganya. Ia seperti “maskapai militer” yang menjalankan fungsi transportasi secara gratis bagi anggota militer dan keluarganya.

[o] Bagi para penumpang pesawat militer, seperti Hercules dan lainnya, saat mereka masuk ke pesawat itu, rata-rata hati mereka sudah pasrah kalau terjadi apa-apa di jalan. Mereka mendapatkan fasilitas angkutan pesawat terbang yang tentu lebih hemat biaya, dan lebih cepat. Tetapi resikonya, harus siap dengan “segala kemungkinan”. Keluarga AU mengalami berbagai pengalaman aneh-aneh di udara, itu bukan rahasia lagi. Tidak asing bagi mereka.

[o] Pesawat Hercules cukup besar untuk menampung banyak penumpang. Di dalam pesawat kadang diisi penumpang semampunya. Ada yang duduk, ada yang berdiri, bahkan ada yang duduk di bagian sayap atau tempat meletakkan barang-barang. Di kalangan TNI AU, hal seperti itu sudah dimaklumi. Kalau ada yang kebagian duduk di bagian tertentu, atau harus berdiri, ya harus sabar. Jadi seperti “bus kota” di udara.

[o] Rata-rata pesawat yang mengangkut pasukan maupun keluarga militer, memang sudah tua. Secara stamina sudah berkurang banyak kemampuannya, tetapi karena orang Indonesia “kreatif”, berbagai kesulitan bisa dicarikan solusinya secara “kanibal”. Nah, hal itu sangat membuka peluang terjadinya masalah-masalah dalam penerbangan.

Di mata keluarga TNI, karier di bidang militer telah menjadi panggilan hidup mereka. Satu sisi, mencari kejelasan penghasilan ekonomi; namun di sisi lain, kesiapan untuk berkorban, kapan pun diminta. Di masa sekarang nuansanya lebih prihatin lagi: siap hidup susah sebagai prajurit penjaga keamanan nasional.

Sekian banyak riwayat kecelakaan pesawat dan kelambanan operasi militer dalam menjaga teritori negara, seharusnya menjadi pelajaran besar bagi bangsa Indonesia, bahwa negeri ini sedang mengalami masa-masa kritis luar biasa. Bukan hanya keutuhan NKRI yang sering menjadi kerisauan para anggota TNI, tetapi masihkah mereka memiliki komitmen kuat menjaga negara, jika segala fasilitas yang dibutuhkan tidak secara serius dipenuhi. Jangan-jangan, alam pikiran mereka sudah terlalu jauh mengembara.

“Gue jadi prajurit kan cuma untuk cari duit. Kalau ada yang mau bayar gue lebih gedhe, kenapa ditolak?” Jangan sampai pemikiran seperti ini menjadi virus yang menyebar luas di benak para prajurit TNI. Memang jaman sudah berubah, patron pemikiran-pemikiran juga bergeser. Tetapi kalau komitmen menjaga negara sudah melemah, berarti kehidupan kita akan selalu dihantui oleh ancaman. Na’udzubillah min dzalik.

Semoga ke depan, negara lebih sungguh-sungguh memikirkan penguatan sistem kemanan nasional. Amin.

Bandung, 21 Mei 2009.

0 komentar:

Posting Komentar

Text

  ©Template by Dicas Blogger.